“Kreatif”-nya Remaja Indonesia
Jika kita hendak melihat
bagaimana perkembangan budaya dan bahasa yang terjadi di kalangan kawula
muda, maka tengoklah jejaring sosial, Facebook & Twitter.
Status-status dan postingan-postingan mereka meniscayakan sebuah cermin,
dimana kita bisa melihat wajah sebenarnya kebanyakan pemuda, khususnya
yang masih usia remaja.
Hal itu cukup penting, sebab dengan melihat
wajah pemuda kita, bisa diketahui dan diproyeksikan bagaimana generasi
masa depan yang akan membangun negeri ini. Pertama kali, yang cukup
mudah dilakukan, adalah dengan mengamati dan membandingkan bagaimana
Facebook digunakan di Indonesia dan di negara-negara lain.
Lihatlah,
misalnya, peran Facebook, juga jejaring sosial lainnya dalam kasus
revolusi Timur Tengah setahun lalu. Hanya dengan sebuah “halaman” (page)
di Facebook, para pemuda terdidik di Timur Tengah mampu menggerakkan
demonstrasi massal yang kemudian menumbangkan rezim penguasanya.
Mesir
adalah yang paling fenomenal, jika dibanding dengan Tunisia, Libya,
atau Yaman. Sebab angka pemuda terdidik dan melek teknologi di Mesir
cukup tinggi dibanding negara-negara di Timur Tengah lainnya. Dengan
menyebarkan “ideologi” anti-rezim dan perlunya memunculkan gerakan
protes lewat blog, lalu pencarian dukungan (like) di Facebook dengan
sebuah halaman, para mahasiswa berhasil mengomando ribuan demonstran,
berkumpul di alun-alun Tahrir, lalu menuntut tumbangnya rezim Hosni
Mubarak.
Maka status-satus Facebook mereka mengobarkan semangat
revolusi. Cara mengomando gerakan protes lewat jejaring sosial itu
bahkan tidak hanya terjadi di Timur Tengah. Gerakan Occoupy Wall Street
di New York, misalnya, sempat menggoyang Amerika dan mengaku mendapat
inspirasi dari model gerakan Tahrir di Mesir. Demikian pula cara yang
sama (lewat jejaring sosial) sempat digunakan dalam kasus demonstrasi di
Rusia dan Cina.
Facebook dan jejaring sosial lainnya menandakan era
baru teknologi, juga sekaligus cara berkomunikasi yang hampir tanpa
batas dimana kekuasaan politik sekalipun mampu terkalahkan oleh
konsolidasi masyarakat sipil. Generasi Facebook di Timur Tengah
sesungguhnya menjadi pelajaran penting bagi rezim penguasa di sana bahwa
rakyatnya, khususnya para pemudanya, tidaklah sebodoh yang mereka kira
dan tidak bisa dibohongi lagi.
Pemuda Indonesia pun amat rajin menggunakan Facebook. Juga, yang lebih penting dari rajin, sangat”kreatif”.
Fenomena
yang cukup menarik adalah, dengan jejaring sosial, para pemuda
Indonesia bisa membuat suatu hal (yang dianggap menghibur) jadi terkenal
dan, dengan demikian, menjadi budaya populer. Kita tentu masih ingat
bagaimana video lipsynch Sinta-Jojo mendadak terkenal sejak pertama kali
di-upload di Youtube, lalu semakin populer setelah di-share di
Facebook. Demikian pula dengan video Briptu Norman Kamaru, dan lagu
“Alamat Palsu”-nya Ayu Tingting pun juga populer dan semakin menyebar
dikenal orang-orang setelah banyak Facebookers menulis status dan
komentarnya tentang itu semua.
Fenomena itu, hemat saya, menandakan
bahwa suatu karya “seni”, entah bernilai tinggi atau tidak, entah sudah
lama dibuat atau baru saja, bisa tiba-tiba meledak asalkan dengan dua
syarat: (1)“berkarakter”, berbeda, dan sesuai dengan “selera” budaya
pop, dan (2) di-share di jejaring sosial dengan berharap-harap semoga
disukai banyak orang dan dilirik oleh pebisnis entertainment.
“Signifikansi”
Facebook bagi pemuda Indonesia juga bisa dilihat bagaimana ia menjadi
menjadi “agen bahasa”. Sebab, karena Facebook-lah, bahasa-bahasa “gaul
dan trendi” bisa menyebar amat cepat.
Sebutlah beberapa contoh
seperti kata-kata “Alhamdulillah yah, sesuatu banget” yang diidentikkan
dengan salah seorang artis itu. Facebook turut memopulerkan kata-kata
“lebay”, dan para pengguna bahasanya dinamakan “alay”. Berkat
Facebook-lah remaja Indonesia semakin “kreatif” memproduksi
bahasa-bahasa baru.
Misalnya: “Cemungudh eaaa” (Semangat, ya), “Ihhh,
lutchu beuddh” (Ih, lucu banget), “Cepetan bubug eaa, ntar atiiit lho”
(Cepetan bobok/tidur ya, nanti sakit lho)”. Belum lagi bila saking
kreatifnya remaja Indonesia, hingga bahasanya cukup religius:
“Subhanallah banget!” –ini mengandaikan bahwa kata “Subhanallah”
belumlah cukup untuk mengekspresikan kekaguman, sehingga perlu ditambah
dengan kata “banget”.
Yang mutakhir, ada lagi: ciyus, miapah, enelan,
dan sebagainya. Saya jadi berpikir: bahasa-bahasa seperti itu
sebenarnya bentuk kreativitas atau justru merusak kaidah kebahasaan
Indonesia?
Salah seorang filsuf analitika bahasa, Ludwig Wittgenstein
(1889-1951), yang sempat mengajukan tesis tentang picture theory itu,
berpendapat bahwa bahasa adalah penggambaran dari realitas dunia para
penggunanya. Bahasa menjadi cermin atas apa yang ada dalam “jiwa”
penggunanya. Dulu, sebab jiwa pemuda Indonesia adalah perjuangan maka
slogan-slogan bahasanya bernada semangat: “Bersatu kita teguh, bercerai
kita runtuh, merdeka atau mati!’ Kini, bahasa-bahasa remaja Indonesia
sangat “kreatif”, orisinil, asli buatan remaja Indonesia sendiri, dan
sepertinya tidak mungkin bisa dibajak atau diplagiasi.
Kata-kata
produk kreatifitas remaja Indonesia itu mungkin muncul dari jiwa yang
sangat “kreatif” sampai-sampai bahasa-bahasa sastrawi yang “sulit”
dimengerti dianggap kolot. Bahasa gaul itu, menurut “jama’ah alay
Indonesia”, mungkin adalah perlambang kemodernan, dan keterbukaan akses
pada informasi seputar remaja yang up to date, sedangkan bahasa dan
peribahasa sastrawi adalah kuno, out of date dan akan dikomentari “hari
geneee, capek duech”.
Jadi, Timur Tengah boleh menggerakkan revolusi
lewat Facebook, tapi di sini dengan Facebook, remaja Indonesia sedang
berkreasi, berinovasi, dan berimprovisasi dengan bahasa-bahasa gaul
baru. Sidang pembaca silakan berpikir, kata-kata tersebut di atas adalah
kenyataan atau sindiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar