Rabu, 31 Oktober 2012

KREATIFNYA REMAJA INDONESIA

“Kreatif”-nya Remaja Indonesia

Jika kita hendak melihat bagaimana perkembangan budaya dan bahasa yang terjadi di kalangan kawula muda, maka tengoklah jejaring sosial, Facebook & Twitter. Status-status dan postingan-postingan mereka meniscayakan sebuah cermin, dimana kita bisa melihat wajah sebenarnya kebanyakan pemuda, khususnya yang masih usia remaja.
Hal itu cukup penting, sebab dengan melihat wajah pemuda kita, bisa diketahui dan diproyeksikan bagaimana generasi masa depan yang akan membangun negeri ini. Pertama kali, yang cukup mudah dilakukan, adalah dengan mengamati dan membandingkan bagaimana Facebook digunakan di Indonesia dan di negara-negara lain.
Lihatlah, misalnya, peran Facebook, juga jejaring sosial lainnya dalam kasus revolusi Timur Tengah setahun lalu. Hanya dengan sebuah “halaman” (page) di Facebook, para pemuda terdidik di Timur Tengah mampu menggerakkan demonstrasi massal yang kemudian menumbangkan rezim penguasanya.
Mesir adalah yang paling fenomenal, jika dibanding dengan Tunisia, Libya, atau Yaman. Sebab angka pemuda terdidik dan melek teknologi di Mesir cukup tinggi dibanding negara-negara di Timur Tengah lainnya. Dengan menyebarkan “ideologi” anti-rezim dan perlunya memunculkan gerakan protes lewat blog, lalu pencarian dukungan (like) di Facebook dengan sebuah halaman, para mahasiswa berhasil mengomando ribuan demonstran, berkumpul di alun-alun Tahrir, lalu menuntut tumbangnya rezim Hosni Mubarak.
Maka status-satus Facebook mereka mengobarkan semangat revolusi. Cara mengomando gerakan protes lewat jejaring sosial itu bahkan tidak hanya terjadi di Timur Tengah. Gerakan Occoupy Wall Street di New York, misalnya, sempat menggoyang Amerika dan mengaku mendapat inspirasi dari model gerakan Tahrir di Mesir. Demikian pula cara yang sama (lewat jejaring sosial) sempat digunakan dalam kasus demonstrasi di Rusia dan Cina.
Facebook dan jejaring sosial lainnya menandakan era baru teknologi, juga sekaligus cara berkomunikasi yang hampir tanpa batas dimana kekuasaan politik sekalipun mampu terkalahkan oleh konsolidasi masyarakat sipil. Generasi Facebook di Timur Tengah sesungguhnya menjadi pelajaran penting bagi rezim penguasa di sana bahwa rakyatnya, khususnya para pemudanya, tidaklah sebodoh yang mereka kira dan tidak bisa dibohongi lagi.
Pemuda Indonesia pun amat rajin menggunakan Facebook. Juga, yang lebih penting dari rajin, sangat”kreatif”.
Fenomena yang cukup menarik adalah, dengan jejaring sosial, para pemuda Indonesia bisa membuat suatu hal (yang dianggap menghibur) jadi terkenal dan, dengan demikian, menjadi budaya populer. Kita tentu masih ingat bagaimana video lipsynch Sinta-Jojo mendadak terkenal sejak pertama kali di-upload di Youtube, lalu semakin populer setelah di-share di Facebook. Demikian pula dengan video Briptu Norman Kamaru, dan lagu “Alamat Palsu”-nya Ayu Tingting pun juga populer dan semakin menyebar dikenal orang-orang setelah banyak Facebookers menulis status dan komentarnya tentang itu semua.
Fenomena itu, hemat saya, menandakan bahwa suatu karya “seni”, entah bernilai tinggi atau tidak, entah sudah lama dibuat atau baru saja, bisa tiba-tiba meledak asalkan dengan dua syarat: (1)“berkarakter”, berbeda, dan sesuai dengan “selera” budaya pop, dan (2) di-share di jejaring sosial dengan berharap-harap semoga disukai banyak orang dan dilirik oleh pebisnis entertainment.
“Signifikansi” Facebook bagi pemuda Indonesia juga bisa dilihat bagaimana ia menjadi menjadi “agen bahasa”. Sebab, karena Facebook-lah, bahasa-bahasa “gaul dan trendi” bisa menyebar amat cepat.
Sebutlah beberapa contoh seperti kata-kata “Alhamdulillah yah, sesuatu banget” yang diidentikkan dengan salah seorang artis itu. Facebook turut memopulerkan kata-kata “lebay”, dan para pengguna bahasanya dinamakan “alay”. Berkat Facebook-lah remaja Indonesia semakin “kreatif” memproduksi bahasa-bahasa baru.
Misalnya: “Cemungudh eaaa” (Semangat, ya), “Ihhh, lutchu beuddh” (Ih, lucu banget), “Cepetan bubug eaa, ntar atiiit lho” (Cepetan bobok/tidur ya, nanti sakit lho)”. Belum lagi bila saking kreatifnya remaja Indonesia, hingga bahasanya cukup religius: “Subhanallah banget!” –ini mengandaikan bahwa kata “Subhanallah” belumlah cukup untuk mengekspresikan kekaguman, sehingga perlu ditambah dengan kata “banget”.
Yang mutakhir, ada lagi: ciyus, miapah, enelan, dan sebagainya. Saya jadi berpikir: bahasa-bahasa seperti itu sebenarnya bentuk kreativitas atau justru merusak kaidah kebahasaan Indonesia?
Salah seorang filsuf analitika bahasa, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), yang sempat mengajukan tesis tentang picture theory itu, berpendapat bahwa bahasa adalah penggambaran dari realitas dunia para penggunanya. Bahasa menjadi cermin atas apa yang ada dalam “jiwa” penggunanya.   Dulu, sebab jiwa pemuda Indonesia adalah perjuangan maka slogan-slogan bahasanya bernada semangat: “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, merdeka atau mati!’ Kini, bahasa-bahasa remaja Indonesia sangat “kreatif”, orisinil, asli buatan remaja Indonesia sendiri, dan sepertinya tidak mungkin bisa dibajak atau diplagiasi.
Kata-kata produk kreatifitas remaja Indonesia itu mungkin muncul dari jiwa yang sangat “kreatif” sampai-sampai bahasa-bahasa sastrawi yang “sulit” dimengerti dianggap kolot. Bahasa gaul itu, menurut “jama’ah alay Indonesia”, mungkin adalah perlambang kemodernan, dan keterbukaan akses pada informasi seputar remaja yang up to date, sedangkan bahasa dan peribahasa sastrawi adalah kuno, out of date dan akan dikomentari “hari geneee, capek duech”.
Jadi, Timur Tengah boleh menggerakkan revolusi lewat Facebook, tapi di sini dengan Facebook, remaja Indonesia sedang berkreasi, berinovasi, dan berimprovisasi dengan bahasa-bahasa gaul baru. Sidang pembaca silakan berpikir, kata-kata tersebut di atas adalah kenyataan atau sindiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar