Rabu, 09 Mei 2012 09:14
Dunia
digital membuka peluang tak terkira. Salah satunya: menjadi triliuner
tanpa perlu menunggu rambut beruban terlebih dahulu. Semenjak masih
remaja, sejumlah ABG geekkini telah menjadi Richie Rich.
Semua
orang tahu, salah satu ikon Richie Rich 2.0 adalah Mark Elliot
Zuckerberg, pendiri Facebook. Pemuda yang drop out dari Universitas
Harvard dan kini berusia sekitar 27 tahun ini, telah menjadi kaya raya
ketika usianya baru menginjak usia 20. Hingga Maret 2011, anak dokter
gigi ini ditaksir memiliki kekayaan hingga US$13,5 miliar atau setara
Rp121,5 triliun—yang menempatkan dia di daftar orang terkaya ke-19 di
Amerika Serikat. Majalah Forbes mentahbiskan dia di posisi ke-52 orang
terkaya sejagat. Goldman Sach menaksir Facebook tak kurang bernilai
US$50 miliar.
Berikut adalah 3 remaja kaya karena teknologi:
1. Robert Nay
Pecandu
mobile game dan pengguna iPhone pastinya tak asing dengan Angry Fish.
Saking populernya, game ini sempat menduduki posisi nomor 1 aplikasi
yang paling banyak diunduh di iTunes App Store. Namun, sejak awal 2011
lalu, tanpa ampun Angry Fish didepak oleh Bubble Ball, sebuah game baru
ciptaan Robert Nay, seorang ABG berusia 14 tahun. Ini semacam puzzle
game di mana pemain diuji kemampuan berpikirnya untuk membuat gelembung
balon sampai di tujuan.
Game gratis ini, tercatat sudah diunduh
dua juta lebih orang, hanya dua minggu semenjak diluncurkan. Dengan
hitungan-hitungan kasar bahwa untuk setiap game yang diunduh, Apple
membayar US$0,99–setara Rp9.000– Nay sudah mengantongi pendapatan
sebesar US$2 juta atau Rp18 miliar, sekali lagi, hanya dalam dua pekan.
Seperti
diberitakan laman ABC, Nay memulai mengenal dunia programming ketika
dia pertama kali membuat halaman web saat dia duduk di bangku kelas tiga
SD. Melihat bakat luar biasanya, teman-temannya lalu meminta dia
membuat game sendiri.
Perjalanan Bubble Ball dimulai dari riset
Nay di sebuah perpustakaan lokal. Di situ, dia menemukan program bernama
Ansca Monile's Corona SDK (Software Development's Kit), yang membantu
dia untuk menyederhanakan proses pemrograman game yang dirancangnya itu.
Selama
sebulan lebih, Nay yang sekarang menjadi CEO Nay Games, menghabiskan
waktu berjam-jam setiap hari untuk menyelesaikan programnya—total
terdiri dari 4.000 baris lebih kode program. Total biaya yang
dihabiskannya sekitar US$1.200—berasal dari uang pemberian orangtua Nay,
untuk membeli komputer Macintosh dan sejumlah software.
Sukses dengan Bubble Ball, Nay kabarnya sedang mempersiapkan game baru yang lain. Apa game itu, dia masih rapat merahasiakannya.
2. Mark Bao
Remaja
ajaib lain adalah Mark Bao, saat ini berusia 18 tahun dan masih
bersekolah di sebuah SMA di Boston, AS. Dalam usia semuda itu, Bao sudah
memiliki 11 unit bisnis digital. Tiga di antaranya sudah berhasil dia
jual.
Bao kini menjabat sebagai CEO Avecora, sebuah perusahaan
yang dia gambarkan bertujuan untuk "mengubah secara fundamental cara
kita berkomunikasi dan memfasilitasi interkoneksi antar semua orang dan
perangkat komunikasi." Jaringan global ini rencananya akan dia luncurkan
pada 2013. Selain itu, dia juga memiliki beberapa proyek startup lain
seperti Genevine, Supportbreeze, dan Classleaf.
Tidak hanya itu,
berpendirian bahwa "berkontribusi balik kepada masyarakat melalui
mekanisme nonprofit adalah sesuatu yang sangat penting untuk saya", Bao
mendirikan organisasi nonprofit, Genevine Foundation dan The Center for
Ethical Business.
"Saya bergerak cepat. Saya ambisius. Saya hadir untuk membawa perubahan," begitu Bao mendeskripsikan dirinya.
Dalam sebuah wawancara dengan
juniorbiz.com,
Bao mengatakan cita-citanya adalah mengumpulkan kekayaan hingga US$10
miliar atau Rp90 triliun. Dari jumlah itu, 80 persen akan dia sumbangkan
kepada organisasi nonprofit di bidang penelitian dan bantuan
kemanusian. "Adapun 5 persen lainnya akan digunakan untuk membantu
perusahaan startup untuk tumbuh," ucap Bao.
Bao—seorang imigran
China—mulai menjadi teknopreneur sejak dia duduk di bangku kelas 5 SD.
Menggunakan Visual Basic 6.0 dia menulis sebuah aplikasi sederhana untuk
mengatur jadwal membuat PR dan membantu dia menulis makalah. Dia lalu
mengkopi program itu ke disket dan menjualnya ke teman-teman sekolah.
Startup
pertama dia diluncurkan di tahun pertamanya di SMA. Namanya
Debateware.com. Ini adalah system manajemen even untuk organisasi debat.
Bao dan partner bisnisnya berhasil menjual program ini ke sebuah
organisasi debat terbesar di AS.
3. Adam Horwitz
Daftar Richie Rich tak bakal komplit tanpa memasukkan nama Adam Horwitz. Seperti ditulis
juniorbiz.com,
Horwitz memulai petualangan digitalnya ketika dia masih duduk di bangku
kelas satu SMA di Pacific Palisades, saat berumur 15 tahun. Ketika itu
ia membuat sebuah blog gosip gila-gilaan tentang teman-teman sekolahnya.
Para orangtua yang was-was dengan dampaknya, memaksa dia menutup blog
ini.
Horwitz lalu membuat Urban Stomp. Ini website yang
menampilkan berbagai acara musik dan lokasi pesta di sekitar wilayah
tersebut. Urban Stomp pernah berhasil mendatangkan 800 orang di sebuah
pesta. Entah kenapa, dia memutuskan untuk menutupnya setelah beroperasi
beberapa pekan.
Horwitz kini menjalankan perusahaan yang
bertujuan mengajari remaja berumur 15 tahun ke atas untuk mencari uang
online. Dia meluncurkan Mobile Monopoly dan Cell Phone Treasure, di mana
masing-masing telah menghasilkan US$100 ribu atau sekitar Rp900 juta.
Selain itu, dia juga sedang membangun satu platform baru, yang
dinamainya Dude I Hate My Job. Ke mana-mana, ABG ini melesat dengan
sedan mengkilat Audi A5 2010.
Dalam sebuah wawancana dengan
juniorbiz, Horwitz mengatakan pebisnis muda seringkali menemui hambatan
berupa stereotip dari masyarakat. "Orang pada awalnya tidak percaya pada
saya. Teman-teman saya juga selalu beranggapan kamu tidak bisa
berbisnis pada usia dini," katanya.
Padahal, kata dia, berbisnis
mulai usia muda punya banyak keuntungan. Salah satunya adalah tidak
harus membayar pajak karena masih tinggal bersama orangtua.
"JIka
kamu seorang entrepreneur muda dan sedang berusaha membangun bisnis
online raksasa, jangan pernah berpikir kamu tidak bisa mewujudkannya,"
Horwitz berpesan. "Dengan Internet, kamu bisa melakukan hamper apa sa